SEJARAH
PERADABAN ISLAM PADA MASA TIGA KERAJAAN BESAR
Makalah Ini Disusun
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen : Heri
Gunawan, S.Pd.I.,M.Ag.
Disusun Oleh:
Hana Qonitah (1172050040)
Ilham Fuji S (1172050046)
Irfan Irfani
(1172050047)
Khairunnisa K (1172050049)
Mega N (1172050057)
Nadya Sophia (1172050065)
Nidia Winda (1172050070)
Nuri Krisdayani (1172050075)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
Fakultas
Tarbiyah Dan Keguruan
Pendidikan
Matematika
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya berupa nikmat iman,
islam, kesehatan dan kemampuan berfikir serta nikmat-nikmat lainnya yang tak
terhitung banyaknya. Sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang
berjudul “SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA TIGA
KERAJAAN BESAR”. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurah kepada junjungan dan suri tauladan kita Nabi Besar Muhammad
SAW, beserta para keluarganya, para sahabatnya dan para umatnya hingga akhir
zaman.
Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, serta bertujuan
agar pembaca dapat mengetahui sejarah pembentukan, kemajuan bahkan hingga
kemunduran dan kehancuran dari tiga kerajaan besar yaitu, Turki Usmani, Dinasti
Safawi, dan Dinasti Mughal. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah ikut serta membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan memberi pengetahuan bagi berbagai kalangan.
Penulis tahu makalah ini jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Untuk itu
penulis mohon saran serta kritik membangun dari pembaca guna dapat memperbaiki
segala kekurangan ini di kemudian hari.
Bandung, November 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB
I
PENDAHULUAN
Islam pada zaman tiga
kerajaan merupakan islam periode pertengahan, fase tiga kerajaan ini
berlangsung selama 625 tahun (1299-1924). Tiga kerajaan yang dimaksud adalah
kerajaan Utsmani di Turki, Safawi di India.
Setelah Dinasti
Abbassiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol. Kekuatan politik
Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik
dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi.
Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat
serangan bangsa Mongol yang terus berekspansi terhadap kekuasaan Islam.
Keadaan politik umat
islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan
berkembangnya tiga kerajaan besar tersebut. Akan tetapi, kemajuan tiga kerajaan
itu tidak bertahan lama karena adanya kerusakan internal dan serangan dari luar
akhirnya, satu demi satu berjatuhan digantikan kekuatan lain; kerajaan Utsmani
digantikan republik Turki (1924), Safawi di Persia digantikan oleh Dinasti
Qajar (1925), dan kerajaan Mughal digantikan oleh penjajah Inggris (1875-1947).
Akhirnya, usaha ketiga kerajaan besar ini untuk memajukan umat islam “tidak
berhasil “dan umat islam mengalami fase kemunduran keduan. Akhirnya, India
mulai tahun 1857 dijajah oleh Inggris sampai tahun 1857 dijajah oleh Inggris
sampai tahun 1947, dan Mesir dikuasai oleh Napolian dari Prancis tahun 1798.
BAB II
ISI
A. TURKI UTSMANI (1300-1922 M)
1.
ASAL USUL DAN
PEMBENTUKAN TURKI UTSMANI
Bangsa Turki Utsmani berasal dari keluarga Qabey[1]
atau dengan nama lain Kayi,[2] salah satu klan dari federasi suku al-
Ghaz Turki atau suku Qayigh Oghuz,[3] yang mendiami daerah Turkistan di masa
kekuasaan Raja Bighu. Karena wilayah mereka bertetangga dengan Dinasti Samani
dan Dinasti Ghaznawi, lambat- laun keturunan Turki ini memeluk Islam.[4] Bangsa Turki merupakan bangsa petualang
yang gemar mengembara (Nomad). Ketika singgah di Khurasan, mereka menetap dan
minta perlindungan kepada Raja Khawarizmi, Jalaluddin Mangubirti. Ketika
tentara Mongol menyerang dan menghancurkan Dinasti Khawarizmi, bangsa Turki di
bawah pimpinan Sulaiman menyingkir dan mengembara menuju Asia Dalam. Di tengah
perjalanan, Sulaiman meninggal dunia karena hanyut akibat banjir bandang di
sungai Eufrat, dekat Aleppo pada tahun 1228 M.
Rombongan Bangsa Turki akhirnya terpecah dua,
sebagian kembali ke Khurasan dan sebagian lagi sekitar 400 keluarga di bawah
pimpinan Erthogrol, putra ketiga Utsman, melanjutkan perjalanan menuju Asia
Kecil dan bergabung dengan raja Salajikah, Alauddin II, menghadapi peperangan
melawan kerajaan Bizantium untuk merebut wilayah perbatasan Syria-Asia Kecil.
Peperangan ini dimenangkan pihak Salajiqah dan Erthogro diberi hadiah Sogud,
yaitu wilayah di perbatasan Bizantium hasil jarahan ini serta memberikan wewenang
untuk mengadakan ekspansi.[5]Kemudian Erthogrol membangun daerah
tersebut dengan Syukut atau Suyut sebagai ibu kotanya.[6]Sepeninggal Erthogrol tahun 1289 M, atas
persetujuan Sultan Alaudin ll, kedudukan Erthogrol digantikan oleh putranya,
Utsman, yang memerintah Turki Utsmani antara tahun 1290-1326 M.
Serangan Mongol terhadap Saljuk pada tahun 130 M
menyebabkan Sultan Alaudin II dinasti ini terpecah-pecah menjadi sejumlah
kerajaan Kecil. Dalam kondisi kehancuran Saljuk inilah, Utsman mengklaim
kemerdekaan secara penuh atas wilayah yang didudukinya, sekaligus
memproklamasikan berdirinya kerajaan Turki Utsmani. Ibu kotanya dipindahkan
dari Syukut atau Suyut ke Qurah Hishar
atau Karajahishar. Kekuatan militer
Utsman menjadi benteng pertahanan sultan dinasti-dinasti kecil dari ancaman
bahaya serangan Mongol. Secara tidak langsung, mereka mengakui Utsman sebagai
penguasa tertinggi dengan gelar Padiansyah
Ali Utsman. Wilayah kekuasaannya meliputi Asia Kecil dan daerah Trace (354
M), selat Dardaneles (1361 M), Casablanca (1389 M), juga menaklukkan kerajaan
Romawi (453 M) dan Dinasti Mamalik (517 M).
2. MASA PEMERINTAHAN TURKI UTSMANI
a. Masa Pemerintahan Usman I (1294 – 1326
M)
Setelah
Al-thugril meninggal dunia, kepemimpinan dilanjutkan oleh puteranya, Usman.
Putera Al-thugril inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani.
Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II dengan
keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan kota
Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan
Alauddin terbunuh. Kerajaan Saljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam
beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh
atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Utsmani dinyatakan berdiri.
Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut juga Usman I.
Setelah Usman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al-Usman (raja besar keluarga
Usman) tahun 699 H (1300M) setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat
diperluasnya. Ia menyerang daerah perbatasan Byzantium dan menaklukkan kota
Broessa tahun 1317 M, kemudian pada tahun 1326 M dijadikan sebagai ibu kota
kerajaan.[7]
b. Masa Pemerintahan Orkhan (726 H/1326M¬ –
761 H/1359M)
Pada
masa pemerintahan Orkhan, Kerajaan Turki Utsmani ini dapat menaklukkan Azmir
(Smirna) tahun 1327 M, Thawasyanli (1330M), Uskandar (1338M), Ankara (1354M),
dan Gallipoli (1356M). Daerah ini adalah bagian benua Eropa yang pertamakali
diduduki kerajaan Utsmani.[8]
Faktor
penting yang mendukung keberhasilan ekspansi adalah keberanian, keterampilan,
ketangguhan dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan dan di mana
saja.
Untuk
pertama kali, kekuatan militer kerajaan ini mulai diorganisasi dengan baik dan
teratur ketika terjadi kontak senjata dengan Eropa. Ketika itu, pasukan tempur
yang besar sudah terorganisasi. Pengorganisasian yang baik, taktik dan strategi
tempur militer Utsmani berlangsung tanpa halangan berarti. Namun, tidak lama setelah
kemenangan tercapai, kekuatan militer yang besar ini dilanda kekisruhan.
Kesadaran prajuritnya menurun. Mereka merasa dirinya sebagai pemimpin-pemimpin
yang berhak menerima gaji. Akan tetapi keadaan tersebut segera dapat diatasi
oleh Orkhan dengan jalan mengadakan perombakan besar-besaran dalam tubuh
militer.
Pembaruan
dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan, tidak hanya dalam bentuk mutasi
personil-personil pimpinan, tetapi juga diadakan perombakan dalam keanggotaan.
Bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen
yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan
prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer
baru yang disebut pasukan Jenissari atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat
mengubah negara Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat, dan memberikan
dorongan yang amat besar dalam penaklukkan negeri-negeri nonmuslim.
Di
samping Jenissari, ada lagi prajurit dari tentara kaum feodal yang dikirim
kepada pemerintah pusat. Pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer
Thaujiah. Angkatan laut pun dibenahi, karena ia mempunyai peranan yang besar
dalam perjalanan ekspansi Turki Usmani.
c. Masa Pemerintahan Murad I (761 H/1359 M
-789 H/1389 M)
Ketika
Murad I, pengganti Orkhan, berkuasa, selain memantapkan keamanan dalam negeri,
ia melakukan perluasan daerah ke Benua Eropa. Ia dapat menaklukkan Adrianopel
(yang kemudian dijadikannya sebagai ibu kota kerajaan yang baru), Macedonia,
Sopia, Salonia, dan seluruh wilayah bagian utara Yunani. Merasa cemas terhadap
kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengobarkan semangat perang.
Sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki
Usmani. Pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, raja Hongaria.
d. Masa Pemerintahan Bayazid I (1389 - 1403
M)
Sultan
Bayazid I, pengganti Murad I, dapat menghancurkan pasukan sekutu Kristen Eropa
tersebut. Peristiwa ini merupakan catatan sejarah yang amat gemilang bagi umat
Islam.
Ekspansi
kerajaan Usmani sempat terhenti beberapa lama. Ketika ekspansi diarahkan ke
Konstantinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke
Asia Kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara tahun 1402 M. Tentara Turki
Usmani mengalami kekalahan. Bayazid bersama puteranya Musa tertawan dan wafat
dalam tawanan tahun 1403 M.
e. Masa Pemerintahan Muhammad I (1403 -1421
M)
Kekalahan
Bayazid di Ankara membawa akibat buruk bagi Turki Usmani. Penguasa-penguasa
Saljuk di Asia Kecil melepaskan diri dari genggaman Turki Usmani. Wilayah-wilayah
Serbia dan Bulgaria juga memproklamasikan kemerdekaan. Dalam pada itu
putera-putera Bayazid saling berebut kekuasaan.
Suasana
buruk ini baru berakhir setelah Sultan Muhammad I dapat mengatasinya.[9]
Sultan Muhammad berusaha keras menyatukan negaranya dan mengembalikan kekuatan
dan kekuasaan seperti sediakala.
Setelah
Timur Lenk meninggal dunia tahun 1405 M, kesultanan Mongol dipecah dan
dibagi-bagi kepada putera-puteranya satu sama lain saling berselisih. Kondisi
ini dimanfaatkan oleh penguasa Turki Usmani untuk melepaskan diri dari
kekuasaan Mongol. Namun, pada saat seperti itu juga terjadi perselisihan antara
putra-putra Bayazid (Muhammad, Isa, dan Sulaiman).
f. Masa Pemerintahan Murad II (1421 – 1451
M)
Setelah
sepuluh tahun perebutan kekuasaan terjadi, akhirnya Muhammad berhasil
mengalahkan saudara-saudaranya. Usaha Muhammad yang pertama kali ialah
mengadakan perbaikan-perbaikan dan meletakkan dasar-dasar keamanan dalam
negeri.
Usahanya
ini diteruskan oleh Murad II, sehingga Turki Usmani mencapai puncak kemajuannya
pada masa Muhammad II atau biasa disebut Muhammad al-Fatih.
g. Masa Pemerintahan Muhammad al-Fatih atau
Muhammad II bin Murad II (1451 – 1481 M)
Setelah
Sultan Murad II meninggal dunia, pemerintahan kerajaan Turki Utsmani dipimpin
oleh putranya Muhammad II atau Muhammad al-Fatih (sang penakluk). Ia diberi
gelar Al-Fatih karena dapat
menaklukan Konstatinopel, yang sudah lama ditunggu-tunggu umat Islam sesuai
yang dijanjikan Rasulullah. Diceritakan bahwa tentara Muhammad al-Fatih tidak
pernah meninggalkan sholat wajib dan separuh dari mereka tidak pernah
meninggalkan sholat tahajud sejak baligh. Hanya Muhammad al-Fatih saja yang
tidak pernah meninggalkan sholat wajib, tahajud, dan rawatib sejak baligh
hingga kematiannya.
Muhammad al-Fatih
berusaha membangunkan kembali sejarah gemilang umat Islam sampai dapat
menaklukan Konstatinopel sebagai ibu kota Bizantium. Konstantinopel adalah kota
yang sangat penting dan belum pernah dikuasai raja-raja Islam sebelumnya.
Muhammad al-Fatih dianggap sebagai
pembuka pintu bagi perkembangan Islam. Tiga alasan Muhammad al-fatih menaklukan
kota Konstatiopel:
1. Dorongan iman kepada Allah SWT,
dan semangat perjuangan berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw untuk menyebarkan
ajaran Islam.
2. Kota
Konstatinopel sebagai pusat kemegahan bangsa Ramawi.
3. Negerinya
sangat indah dan letaknya yang strategis untuk dijadikan pusat kerajaan.
h. Sultan Bayazid II (1481-1512 M)
i.
Masa
Pemerintahan Salim I (1512 – 1520 M)
Ketika
Sultan Salim I naik tahta, ia mengalihkan perhatian ke arah timur dengan menaklukkan
Persia, Syria dan dinasti Mamalik di Mesir.
j.
Masa
Pemerintahan Sulaiman al-Qanuni (1520 – 1566 M)
Usaha
Sultan Salim I ini dikembangkan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni. Ia tidak
mengarahkan ekspansinya ke salah satu arah timur atau barat, tetapi seluruh
wilayah yang berada di sekitar Turki Usmani merupakan obyek yang menggoda
hatinya. Sulaiman berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rodhes, Tunis,
Budapest, dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Turki usmani pada masa
Sultan Sulaiman al-Qanuni mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz, dan
Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika; Bulgaria, Yunani,
Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.
Pada
abad ke-16 angkatan laut Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Kekuatan
militer Turki Usmani yang tangguh itu dengan cepat dapat menguasai wilayah yang
amat luas, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Faktor utama yang mendorong
kemajuan di lapangan kemiliteran ini ialah tabiat bangsa Turki itu sendiri yang
bersifat militer, berdisiplin dan patuh terhadap peraturan.[10]
Tabiat ini merupakan tabiat alami yang mereka warisi dari nenek moyangnya di
Asia Tengah.
Keberhasilan
ekspansi tersebut dibarengi pula dengan terciptanya jaringan pemerintahan yang
teratur. Dalam mengelola wilayah yang luas, sultan-sultan Turki Usmani
senantiasa bertindak tegas. Dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai
penguasa tertinggi, dibantu oleh shadr al-a’zham (perdana menteri), yang
membawahi pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkat I. Di bawahnya
terdapat beberapa orang al-zanaziq atau al-’alawiyah (bupati).
Untuk
mengatur urusan pemerintahan negara, di masa Sultan Sulaiman I disusun sebuah
kitab undang-undang (qanun). Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur, yang
menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi
pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang amat berharga ini, di ujung
namanya ditambah gelar al-Qanuni.
Pada
masa Sulaiman ini di kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun mesjid,
sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan
pemandian umum. Disebutkan bahwa buah dari bangunan itu dibangun di bawah
koordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.
Sebagai
bangsa yang berdarah militer, Turki Utsmani lebih banyak memfokuskan kegiatan
mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan,
mereka kelihatan tidak begitu menonjol.
Bangsa
Turki juga banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa
bangunan-bangunan mesjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammadi atau Mesjid
Jami’ Sultan Muhammad Al-fatih, Mesjid Agung Sulaiman dan Mesjid Abi Ayyub
al-Anshari. Mesjid-mesjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah.
Salah satu mesjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah mesjid
yang asalnya gereja Aya Sopia. Hiasan kaligrafi itu, dijadikan penutup
gambar-gambar Kristiani yang ada sebelumnya.
Pada
masa Turki Ustmani tarekat mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang
ialah tarekat Bektasyi dan Tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut
oleh kalangan sipil dan militer
Di
pihak lain, kajian-kajian ilmu keagamaan, Asy’ariyah mendapatkan tempatnya.
Selain itu para ulama banyak menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan
hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya masa klasik.
k. Masa Pemerintahan Salim II (1566 – 1573
M)
Setelah
Sultan Sulaiman al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki
fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan
kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman al-Qanuni diganti
oleh Salim II. Di masa pemerintahannya terjadi pertempuran antara armada laut
Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut
Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal
para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi
di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini Turki Usmani mengalami
kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh. Baru pada masa
Sultan berikutnya, Sultan Murad III, pada tahun 1575 M Tunisia dapat direbut
kembali.
l.
Masa
Pemerintahan Murad III (1574 – 1595 M)
Sultan
Murad III berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, namun
Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di
Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabnz, ibu kota Safawi, menundukkan
Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia, dan mengalahkan gubernur
Bosnia pada tahun 1593 M. Namun kehidupan moral Sultan yang jelek menyebabkan
timbulnya kekacauan dalam negeri.
m. Masa Pemerintahan Muhammad III (1595 –
1603 M)
Kekacauan
ini makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III yang membunuh semua
saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya
sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu,
Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani.
n. Masa Pemerintahan Ahmad I (1603 – 1617
M)
Sultan
Ahmad I sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan
Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar.
o. Masa Pemerintahan Mustafa I (1617 – 1623
M) dan Usman II (1618 – 1622 M)
Sesudah
Sultan Ahmad I, situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I (masa
pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M). Karena
gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh al-Islam
mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II. Namun
yang tersebut terakhir ini juga tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi
demikian bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut wilayahnya
kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa
melepaskan wilayah Persia tersebut.
p. Masa Pemerintahan Murad IV (1623 – 1640
M)
Langkah-langkah
perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV. Pertama-tama ia
mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan. Pasukan Jenissari’ yang pernah
menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya
berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara keseluruhan.
q. Masa Pemerintahan Ibrahim (1640 – 1648
M)
Situasi
politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan
Ibrahim, karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini orang-orang
Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir orang-orang
Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad
Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) ke kedudukan sebagai
wazir atau shadr al-a’zham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolut. Ia
berhasil mengembalikan peraturan dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan
negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya,
Ibrahim.
Ibrahim
menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih sama sekali. Karena itu, ia
menyerbu Hongaria dan mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia
kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya
wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari
kekuasaannya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun.
Pada
tahun 1699 M terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk
menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada
Hapsburg; dan Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada
orang-orang Venetia.
r.
Masa
Pemerintahan Mustafa III (1757 – 1774 M)
Pada
tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada kerajaan Usmani di sepanjang
pantai Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh
Sultan Mustafa III yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya.
s. Masa Pemerintahan Abd al-Hamid (1774 –
1789 M)
Sultan
Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abd al-Hamid, seorang yang lemah.
Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja ia mengadakan perjanjian yang
dinamakan “Perjanjian Kinerja” dengan Catherine II dari Rusia. Isi perjanjian
itu antara lain :
·
Kerajaan
Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia
dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan
Laut Hitam dengan Laut Putih.
·
Kerajaan
Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).
3. PERKEMBANGAN TURKl UTSMANI
Turki
Utsmani yang didirikan Utsman ibnu Erthogrol ini selanjutnya diperintah oleh 36
sultan keturunannya. Empat sultan di antaranya paling terkenal dalam penjarahan
ke berbagai daerah yaitu Muhammad II (1451-1481 M), Bayazid ll (481-1512 M),
Salim I (152-1520 M), dan Sulaiman 1 (520-1566 M). Oleh karena itu, masa
pemerintahan Utsman I sampai Sulaiman I dikenal sebagai masa penaklukan dan
perluasan daerah kekuasaan.
Pemerintahan
yang dijalankan Turki Utsmani menurut Hitti[11]
dan Lapidusio[12]
bercorak militer. Sementara itu, Hodgson[13]
menyebutnya dengan aliansi antara syariat dan militer. Ketika Sultan Salim I
berhasil menaklukkan Mesir tahun 1517 M dari tangan pemerintahan Mamluk,
khalifah Abbasiyyah terakhir yang bernama Mutawakkil menyerahkan jabatan
khalifah kepadanya. Sejak saat itu, Turki Utsmani di samping sebagai sebuah
kesultanan sekaligus juga kekhalifahan yang membawa aspek syariat. Sultan Salim
I dan sultan-sultan sesudahnya memegang jabatan rang yakni sebagai Sultan dan
Khalifah. Jabatan rangkap tersebut mereka sandang hingga Kemal Attaturk menghapuskannya
pada tahun 1924 M.
4. KEMAJUAN TURKI UTSMAN
a. Bidang Militer dan Perluasan Wilayah
Setelah
perang dengan Bizantium khalifah Orkhan mendirikan sebuah kesatuan militer
bernama Jenissari atau Inleisariyah
(Arab) sebagai pusat pendidikan dan pelatihan militer. Kebijakan kemiliteran
ini dikembangkan pengganti Orkhan, yaitu Murad dengan membentuk sejumlah korps
atau cabang-cabang Yeniseri. Kekuatan militer Jenissari ini berhasil mengubah
negara Utsmani yang baru lahir menjadi mesin perang yang paling kuat dan
memberikan dorongan sangat besar bagi penaklukan negeri-negeri non-muslim.[14]
Pada
tahun 1365, Andriannopel ditaklukkan kemudian kota Macedonia, Bulgaria dan
Serbia. Diantara 37 penguasa yang memimpin Turki Utsmani, Sultan Muhammad II
pantas untuk menyandang ar al-Fatih
(sang penakluk) atas keberhasilannya menaklukkan kekuatan terakhir imperium
Romawi Timur yang berpusat di kota Konstantinopel pada tahun 1453. Pertahanan
istana hancur dan sang kaisar terbunuh bersama sejumlah pasukannya. Muhammad
al-Fatih kemudian melanjutkan penaklukan ke semenanjung Maura, Serbia, Albania
sampai ke perbatasan Bundukia.
b. Bidang Pemerintahan
Bentuk
kerajaan Turki Utsmani didasarkan kepada sistem feodal yang ditiru langsung
dari kerajaan Bizantium. Dalam sistem pemerintahan, sultan adalah penguasa
tertinggi dalam bidang agama, politik, pemerintahan bahkan masalah-masalah
perekonomian. Pelantikan sultan mengikuti sistem feodal. Pada mulanya
sultan-sultan ini terdiridari amir amir yang menjadi tuan tanah pada masa
kerajaan Saljuk yang berpusat di Konya. Orkhan adalah salah seorang dari amir
amir itu yang kemudian memproklamasikan dirinya sebagai seorang sultan. Setelah
itu, Bayazid l juga bergelar dengan Sultan
ar Rum, pemimpin negara Islam. Murad Il misalnya telah menggunakan gelar Sultan al-Barrain wal Bahrain (sultan di
dua benua dan lautan), Murad I menggelari dirinya dengan “Khalifah Allah di Bumi” setelah berhasil menaklukkan Andrianopel.
Orang
kedua yang berkuasa adalah wazir
besar. Ia adalah ketua badan penasihat kesultanan yang membawahi semua wazir dan amir. Sebagai simbol kekuasaannya, ia diangkat sebagai wakil
sultan. Di samping itu, di setiap daerah ada seorang qadi, pimpinan agama yang mempunyai kekuasaan untuk menjalankan
hukum pidana dan perdata menurut syariat Islam berdasarkan Alquran dan
al-Hadits, Sejak masa pemerintahan Salim dibentuk pula Majelis Syeikhul Islam
(mufti) yang berkedudukan di lstambul. Tugas utamanya adalah memberikan fatwa
dalam semua permasalahan agama, termasuk keputusan perang terhadap sesama
muslim. Misalnya, Mufti Sultan Salim I membenarkan peperangan menentang orang
lslam Mesir Mufti juga diberi hak untuk melantik pegawai-pegawai istana di ibu
kota Istambul.[15]
c.
Bidang
Agama dan Budaya
Kehidupan
keagamaan merupakan bagian dari sistem sosial dan politik Turki Utsmani. Ulama
mempunyai kedudukan tinggi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Mufti sebagai
pejabat tinggi agama, tanpa legitimasi Mufti keputusan hukum kerajaan tidak
dapat berjalan. Pada masa ini kehidupan tarekat berkembang pesat. Al-Bektasi dan al-Maulawi merupakan dua
ajaran tarekat yang paling besar. Al-Bektasi
merupakan tarekat yang sangat berpengaruh terhadap tentara Yeniseri, sedangkan al-Maulawi
berpengaruh besar di kalangan penguasa sebagai imbangan dari kelompok Yeniseri Bektasi.
d.
Bidang
Intelektual
Kemajuan
bidang intelektual Turki Utsmani tampaknya tidak lebih menonjol dibandingkan bidang
politik dan kemiliteran. Aspek-aspek intelektual yang dicapai adalah sebagai
berikut.
1) Terdapat dua buah surat kabar yang
muncul pada masa ini, yaitu:
(i) Berita harian Takvini Veka (1831)
(ii) Jurnal Tasviri Efkyar (1862) dan
Terjumani Ahval (1860).
2)
Pendidikan.
Terjadi
transformasi pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah (madrasah) dasar,
menengah (1861) dan perguruan tinggi (1869), fakultas kedokteran dan fakultas
hukum, serta mengirimkan para pelajar yang berprestasi ke Prancis untuk
melanjutkan studinya yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Ulama dan sejumlah
karyanya yang dihasilkan pada masa Turki Utsmani.[16]
(1)
Mustafa
Ali (1541-1599 M), ahli sejarah, karyanya antara lain Kunh al-Akhbar, tentang
sejarah dunia sejak Adam as sampai Yesus, sejarah Islam awal hingga Turki
Utsmani;
(2)
Evliya
Chelebi (1614-1682 M), ahli ilmu sosial, karyanya antara lain Seyabat Name
(Buku Pedoman Perjalanan), tentang masyarakat dan ekonomi Turki Utsmani;
(3)
Arifi
(w. 1561 M) sejarawan istana, karyanya antara lain Shah-Name-i Ali Osman, cerita
tentang keluarga raja-raja Utsmani.34 3)
3)
Sastra dan Bahasa.
Munculnya
sastrawan-sastrawan dengan hasil karyanya setelah menamatkan studi di luar
negeri seperti Ibrahim Shinasi pendiri surat kabar Tasviri Et'kyar. Di antara karya yang dihasilkannya adalah The Poets Wedding (komedi) Salah seorang
pengikutnya adalah Namik Kemal dengan karyanya Fatherland atau Silistria.
Di samping itu, terdapat Ahmad Midhat dengan Entertaining Tales dan Mehmed Taufiq dengan Year in Istanbul.
5.
KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN TURKI UTSMANI
Setelah pemerintahan Sulaiman I, Dinasti
Turki Utsmani mengalami masa kemunduran yang disebabkan dinasti ini hanya
memperkuat benteng pertahanan dari serangan-serangan Barat.[17] Kenaikan Sultan Salim II (1566-1574)
telah dianggap oleh ahli sejarah sebagai titik permulaan keruntuhan Turki
Utsmani dan berakhirnya zaman keemasannya. Hal ini ditandai dengan melemahnya
semangat perjuangan prajurit Utsmani yang menyebabkan sejumlah kekalahan dalam
pertempuran menghadapi musuh-musuhnya.
Pada tahun 1663, tentara Utsmani
menderita kekalahan dalam penyerbuan Hongaria. Tahun
1676 Turki kalah dalam pertempuran di Mohakez, Hungaria, dan dipaksa
menandatangani perjanjian Karlowitz pada tahun 1699, yang berisi pernyataan
bahwa seluruh wilayah Hungaria sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada
penguasa Uenetia. Kemudian tahun 1774, penguasa Utsmani, Abdul Hamid, terpaksa
menandatangani perjanjian dengan Rusia, yang berisi pengakuan kemerdekaan
crimenia dan penyerahan benteng benteng pertahanan di Laut Hitam, serta
memberikan izin kepada Rusia untuk melintasi selat antara Laut Hitam dengan
Laut Putih.
Pada
tahun 1772 Mamalik berhasil menguasai Mesir kembali, Syiria dan Lebanon
memberontak dipimpin oleh Druz dan Fahruddin Di Arabia, timbul gerakan
pemurnian Muhammad ibnu Abdul Wahab bergabung dengan kekuatan Ibnu Saud, yang
berhasil memperluas wilayah kekuasaan di sekitar Jazirah Arab. Pada perang
dunia I tahun 1918, Turki bergabung dengan Jerman dan mengalami kekalahan,
sehingga harus menyerahkan semua wilayahnya kepada pemenang perang. Yunani
hendak menjajah, namun Mustafa Kemal Attaturk berhasil mengusirnya dan
membentuk Negara Republik Turki (1924) serta menghapuskan kekhilafahan
Islamiyah Turki Utsmani.
Faktor-faktor
yang menyebabkan kerajaan Turki Utsmani[18]
mengalami kemunduran dan akhirnya mengalami kehancuran adalah sebagai berikut
a. Faktor Internal
1.
Luasnya
wilayah kekuasaan
2.
Heterogenitas
penduduk
3.
Kelemahan
para penguasa
4.
Budaya
pungli
5.
Pemberontakan
tentara Jenniseri
6.
Merosotnya
ekonomi
7.
Terjadinya
stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi.
b. Faktor-Faktor Eksternal
1.
Timbulnya
gerakan nasionalisme. Bangsa-bangsa yang tunduk pada kerajaan Turki selama
berkuasa, mulai menyadari kelemahan dinasti tersebut. Kekuasaan Turki atas
mereka bermula dari penaklukan dan penyerbuan. Meskipun Turki telah berbuat
sebaik mungkin kepada pihak yang dikuasai, mereka beranggapan bahwa Turki
adalah orang asing yang menaklukkan mereka. Ketika Turki melemah, mereka
bangkit untuk melepaskan diri dari cengkeraman kerajaan tersebut.
2.
Terjadinya
kemajuan teknologi di Barat, khususnya dalam bidang persenjataan. Sementara
itu, di Turki terjadi stagnasi ilmu pengetahuan sehingga ketika terjadi kontak
senjata antara kekuasaan Turki dengan kekuatan dari Eropa, Turki selalu
menderita kekalahan karena masih menggunakan senjata tradisional sedangkan
Eropa telah menggunakan senjata modern.
B. DINASTI SAFAWI (1501-1732 M)
1.
PENDIRIAN
DINASTI SAFAWI
Safi al-din (pendiri tarekat Safawiah),
menurut satu riwayat adalah keturunan Musa al-Kazhim, imam ketujuh syi'ah ltsna
Asyariah. Tarekat ini mengubah gerakan keagamaan menjadi gerakan politik.
Gerakan politik yang pertama dilakukan oleh Ismail ibnu Haidar (1501 M) dengan
menaklukkan Anatolia (ketika itu berada di bawah kekuasaan Qara Qayunlu dan
Aq-Qayunlu dari Turki). Ismail ibnu Haidar (Isma’il) adalah khalifah pertama
Dinasti Safawi dan menjadikan Syi'ah sebagai mazhab resmi negara.[19]
Persaingan antara Safawi dengan Turki
Utsmani ditandai dengan perang berkepanjangan. Perang berlangsung selama
kepemimpinan lsma’il 1 (501-1524 M), Tahmasp I (524-1576 M), Isam'il (1576-1577
M), dan Muhammad Khudabanda (15TT-1587 M). Akhirnya, Abbas (1588-1628 M)
melakukan perjanjian dengan Turki Utsmani. Dengan perjanjian itu, Abbas I harus
menyerahkan Azerbaijan, Georgia, dan sebagian Khuziztan kepada Turki Utsmani; dan
kepemimpinan Abbas berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam
khotbah Jumat. Masa pemerintahan Abbas merupakan zaman keemasan Dinasti Safawi.[20]
2.
KEMAJUAN
DINASTI SAFAWI
Menurut Marshal
GS. Hodgson yang dikutip Jaih Mubarok (2004: 133), pada zaman Khudabanda
(1666), Isfahan memiliki 162 masjid, 48 perguruan, 162 caravansaries, dan 213 tempat pemandian umum yang hampir seluruhnya
dibangun oleh Abbas l dan penggantinya, Abbas II. Pada tahun 1510 M, sekolah
seni lukis Timuriah dipindahkan dari Herat ke Tibriz. Di sekolah ini
diterbitkan buku Syah Nameh (buku
tentang raja-raja) yang memuat lebih dari 250 lukisan. Ulama yang muncul pada
zaman Safawi di Persia adalah:
a. Baha' al-Din al-Amili (generalis ilmu
pengetahuan).
b. Sadr al-Din al-Syi (filsuf), dikenal
dengan Mulla Shadra (w. 164 M). 92.
c. Muhammad Bagir ibnu Muhammad Damad
(filsuf, ahli sejarah, dan teolog). Beliau pernah melakukan penelitian
(observasi) tentang kehidupan lebah. Ia wafat pada tahun 1631 M.
3.
KEMUNDURAN
DAN KEHANCURAN DINASTI SAFAWI
Setelah Abbas I, Dinasti Safawi mengalami
kemunduran. Sulaiman, pengganti Abbas I, melakukan penindasan dan pemerasan
terhadap ulama Sunni dan memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka. Penindasan semakin
parah terjadi pada zaman sultan Husein, pengganti Sulaiman. Penduduk Afgan
(saat itu bagian dari Iran) dipaksa untuk memeluk Syi’ah dan ditindas.
Penindasan ini melahirkan pemberontakan yang dipimpin oleh Mahmud Khan (Amir
Kandahar), sehingga berhasil menguasai Herat, Masyhad, dan kemudian merebut
Isfahan (l772 M). Setelah itu, Safawi diserang oleh Turki Utsmani dan Rusia.[21]
Wilayah
Armenia dan beberapa wilayah Azerbaijan direbut oleh Turki Utsman, sedangkan
beberapa wilayah provinsi laut Kaspia di Jilan Mazandaran, dan Asterabad
direbut oleh Rusia.319 Setelah sebagian besar wilayah dikuasai oleh Afghan,
Turki Utsmani dan Rusia, Nadir Syah (dinasti Ashfariah) rena mendapat dukungan
dari suku Zand di Iran Barat menundukkan dinasti Safawiah. Nadir syah (bergelar
syah Iran) memadukan Sunni-Sy’iah untuk mendapat dukungan dari Afgan dan Turki
Utsmani; dan ia mengusulkan agar mazhab fikih Ja'fari (Syi'ah) dijadikan mazhab
hukum yang kelima oleh ulama Sunni. Dinasti safawi pimpinan Nadir Syah kemudian
ditaklukkan oleh Dinasti Qajar.
C. DINASTI MUGHAL (526-1857 M)
1. PENDIRIAN DINASTI MUGHAL
Ibrahim Lodi
(cucu sultan Lodi), sultan Delhi terakhir, memenjarakan sejumlah bangsawan yang
menentangnya. Hal itu memicu pertempuran antara Ibrahim Lodi dengan Zahirudin
Babur (cucu Timur Lenk) di Panipazh (1526 M). Ibrahim Lodi terbunuh dan
kekuasaannya berpindah ke tangan Babur; sejak itulah berdiri Dinasti Mughal di
India, dan Delhi dijadikan ibu kota.
2.
PERKEMBANGAN POLITIK DAN ILMU PENGETAHUAN
Setelah
meninggal, Zahirudin Babur diganti oleh anaknya, Nashirudin Humayun (1530-1556
M); kemudian Nashirudin Humayun diganti oleh anaknya, Akbar Khan (1556-1605).
Pada zamannya, Dinasti Mughal mencapai puncak kejayaan.[22]
Akbar Khan menjalankan pemerintahan dengan sistem
militeristis. Pemerintah pusat dipimpin oleh raja; pemerintah daerah dipimpin
oleh kepala komandan (Sipah salat); dan pemerintahan sub-daerah dipimpin oleh
komandan (Faudjat). Akbar menerapkan sistem politik Sulh e-kul (toleransi
universal), yaitu pandangan yang menyatakan bahwa derajat semua penduduk adalah
sama. Akbar pun membentuk Din Ilahi dan
mendirikan Mansabahari (lembaga
pelayanan umum yang berkewajiban menyiapkan segala urusan kerajaan, termasuk menyiapkan
sejumlah pasukan,351
Kemajuan yang dicapai Akbar masih dapat dipertahankan
oleh tiga sultan berikutnya, yaitu Jehangir (605-1628 M), Syah Jehan (628-1658
M), dan Aurangzeb (1658-1707 M). Kemantapan di bidang politik membawa kemajuan
pada bidang lain seperti ekonomi dengan mengembangkan program pertanian,
pertambangan, dan perdagangan. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,
hasilnya diekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara.
Bidang seni dan budaya pun berkembang seperti karya
sastra gubahan penyair istana yang berbahasa Persia maupun India. Hasil
kemajuan tersebut misalnya: karya besar berjudul Padmavat yang mengandung pesan
kebajikan jiwa manusia hasil karya penyair terkenal yang Malik Muhammad Jayazi;
karya Akhbar Nama dan Aini Akhbari memaparkan sejarah kerajaan
Mughal berdasarkan figur pemimpinnya hasil karya sejarawan Abu Fadl pada masa
Aurangaeb: lstana FatpuSikri di Sikri villa, dan masiid masjid yang indah
dibangun pada masa Akbar. Ada juga Masjid Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi,
dan istana indah di Lahore dibangun pada masa Syah Jehan yang masih ada sampai
sekarang.[23]
3.
KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DINASTI MUGHAL
Setelah
satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut
Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh
sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M, kerajaan ini memasuki masa-masa
kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat
pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah, Sikh di
belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam
Sementara itu, para
pedagang Inggris (EIC) untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan
modal di India yang didukung oleh kekuatan bersenjata menjadi semakin kuat
menguasai wilayah pantai. Pada akhirnya, EIC menguasai Mughal, Bahadur Syah,
raja Mughal terakhir diusir dari istana pada tahun 1858. Dengan demikian,
berakhirlah sejarah kekuasaan Dinasti Mughal di daratan India. Menurut Badri Yatim,[24] faktor-faktor yang menyebabkan kekuasaan Dinasti
Mughal itu mundur dan membawa pada kehancurannya tahun 1858 M adalah sebagai
berikut.
a.
Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer
sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera
dipantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat. Bahkan,
mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persenjataan buatan Mughal sendiri.
b.
Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite
politik, Yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara
c.
Pendekatan
Aurangzeb yang terlampau "kasar" dalam melaksanakan ide-ide puritan
dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antar-agama sangat sukar diatasi
oleh sultan-sultan sesudahnya.
d.
Semua pewaris tahta kerajaan pada paruh terakhir
adalah orang- orang lemah dalam bidang kepemimpinan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Zaman ketiga kerajaan berlangsung selama 625 tahun
(1299-1924). Tiga kerajaan besar yang dimaksud itu adalah Utsmani di Turki,
Safawi di Persia, dan Mughal di India. Ketiga kerajaan besar tersebut mempunyai
kerajaan masing-masing, masa kepemerintahannya berlangsung silih berganti,
sistem kepemimpinannya berbeda-beda, kemajuan ketiga kerajaan terebut terlihat
dari segi politik, ilmu pengetahuan atau agama serta seni dan budaya.
Puncak kemajuan yang dicapai
oleh kerajaan Utsmani terjadi pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman al-Qanuni
(1520-1566 M), puncak kemajuan kerajaan Safawi pada masa pemerintahan Abbas I, puncak
kemajuan kerajaan Mughal pada masa Kerajaan Sultan Akbar (1542-1605 M). Setelah
masa tiga orang raja besar di tiga kerajaan tersebut, kerajaan-kerajaan itu
mulai mengalami kemunduran. Proses kemunduran itu berlangsung dalam kecepatan
yang berbeda-berbada. Kemunduran itu berlangsung dalam kecepatan yang berbeda-beda.
Kemunduran itu terjadi sekitar 250 tahun (1250-1500).
Kemajuan
tiga kerajaan itu tidak bertahan lama karena adanya kerusakan internal dan
serangan dari luar akhirnya, satu demi satu berjatuhan digantikan kekuatan
lain; kerajaan Utsmani digantikan republik Turki (1924), Safawi di Persia
digantikan oleh Dinasti Qajar (1925), dan kerajaan Mughal digantikan oleh
penjajah Inggris (1875-1947). Akhirnya, usaha ketiga kerajaan besar ini untuk
memajukan umat islam “tidak berhasil “dan umat islam mengalami fase kemunduran
keduan. Akhirnya, India mulai tahun 1857 dijajah oleh Inggris sampai tahun 1857
dijajah oleh Inggris sampai tahun 1947, dan Mesir dikuasai oleh Napolian dari
Prancis tahun 1798.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Suntiah,
Ratu dan Maslani. 2017. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Jaih Mubarok. 2004. Sejarah Peradaban Islam.Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Carl Brockelmann. 1994.
History of the Islamic Peoples. London:
Rout Ledge
C.E.
Bosworth. 1993. Dinasti-Dinasti Islam. Terj.
Ilyas Hasan, Bandung: Mizan
Muhammad Syakir AS.
1980. Tarikh al-Islami. Jilid VIII.
Mesir: Dar an-Nahdah
K. Ali. 1980. Study of Islamic History. Delhi:
Idarat-I Adabiyat-i
Philip K. Hitti. 1970. History of The Arabs. Tenth Edition. New
York: MacMillan
[1] Ahmad Syalabi, 1988, Imperium Turki Utsmani, Teri. Oleh Aceng
Bahauddin, Jakarta Kalam Mulia. h. 2.
[4] K Ali, 1996, Sejarah Islam, Teri. oleh M. Nasir
Budiman, lakarta: RajaGrafindo Persada, h, 361.
[6] Ibid: Ahmad Abd
Rahim, 1982, Fi Usul Tarikh al Utsmani,
Beirut Daar al Nahdhah al-Arabiyah, h 16-18; Ira M. lapidus, 1991. A History of Islamic Societies, New York: Cambridge University
Press, h. 306.
[11] Philip K Hitti, History of the Arabs, Tenth Edition, New
York. MacMillan, 1970, h. 715-716.
[12] Ira M. lapidus, op. cit.,
h. 322.
[13] Marshal GS. Hodgson, The Venture of Islam, vol. III,
Chichago: Chichago University Press, 1961, h. 99.
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003, h. 134.
[23] Badri Yatim, op. cit., h.151.
Komentar
Posting Komentar